Resume Urbanisasi dan Pertumbuhan Kota

URBANISASI DAN PERTUMBUHAN KOTA

1.PENGERTIAN URBANISASI

Pengertian urbanisasi menurut Michael p. todaro dan Stephen c. smith di dalam buku ( pembangunan ekonomi edisi kesebelas ) adalah, suatu proses kenaikan proporsi jumlah penduduk yang tinggal di daerah perkotaan. Selain itu dalam ilmu lingkungan, urbanisasi dapat diartikan sebagai suatu proses pengkotaan suatu wilayah. Proses pengkotaan ini dapat diartikan dalam dua pengertian. Pengertian pertama, adalah merupakan suatu perubahan secara esensial unsur fisik dan sosial-ekonomi-budaya wilayah karena percepatan kemajuan ekonomi. Pengertian kedua adalah banyaknya penduduk yang pindah dari desa ke kota, karena adanya penarik di kota, misal kesempatan kerja.

Pengertian urbanisasi ini pun berbeda-beda, sesuai dengan penafsiran setiap orang yang  berbeda-beda.sedangkan menurut Prof. Dr. Armida S. Alisjahbana urbanisasi adalah perpindahan secara bersama dalam jumlah besar penduduk desa ke perkotaan  yang di pengaruhi oleh keadaan ekonomi seseorang.

Dalam konteks proses urbanisasi pada skala global, dengan penduduk lebih dari 10 juta jiwa, telah bermuncululan di kawasan asia dalam waktu lima tahun ini.

Kota kota mega di asia diwakili oleh Tokyo dan delhi, yang berada dalam 5 besar algomerasi terbesar di tingkat global.dan pada tahun 2015di proyeksi Mumbai dan New Delhi masuk dala 10 kota mega dengan penduduk masing masing 22,6 juta dan 10,9 juta jiwa.

Industrialisasi telah menjadi kekuata utama ( driving force )  di balik urbanisasi yang cepat di kawasan asia sejak dasawarsa 1980-an, terkecuali industry berbasis sumber daya ( resource – based industries ),industri manufaktur cenderung berlokasi di dala kota dan sekitar kota. Pertanian dan industry berdampinagn di seputar pusat – pusat kota, yang semakin mengaburkan perbedaan baku anatar desa dan kota ( McGee, 1991 ).

1.1 Urbanisasi : Tren Dan Proyeksi

Hubungan positif antara urbanisasi dan pendapatan per capital merupakan “ fakta khsusu “ paling jelas dan menonjol dari proses pembangunan. Umumnya semakin maju suatu Negara berdasarkan pendapatan perkapital , semakin besar jumlah penduduk yang mendiami kawasan perkotaan. Dan pada saat yang sama,meskipun suatu Negara menjadi lebih urban ketika berkembang, Negara Negara termiskin sekarang lebih urban dari Negara Negara maju sekarang ketika dahulu berada pada tingkat pembangunan yang setara sebagaimana yang di ukur dengan pendapatan per capital; dan rata – rata Negara berkembang sekarang mengalami urbanisasi lebih tinggi.

Dan juga urbanisasi juga terhadi di Negara Negara  di dunia , walaupun dengan tigkat yang berbeda beda. Memang salah satu fenomena paling penting dari semua demografi modern  adalah cepatnya cepatnya pertumbuhan kota di Negara Negara berkembang.

Meski laju urbanisasi di Negara Negara berkembang pada akhir abad ke duapuluh dan awal abad ke dua puluh satu dalam sejumlah kasus yang cukup signifikan tidak jauh lebih cepat dari pada di banyak Negara Negara maju pada abad ke Sembilan belas. Meski mayoritas pertumbuhan penduduk di kawasan perkotaan Negara berkembang akan di temukan di kota – kota yang jumlah penduduknya kurang dari 5 juta orang, pertumbuhan penduduk  di kota – kota yang berpenduduk lebih dari 5 juta orang berlangsung lebih cepat cepat ketimbang , pertumbuhan penduduk kota kota lebih kecil ( penduduk di bawah 500.000 orang) di negara berkembang. Menurut perkiraan PBB pada tahun  2025 hanya separuh penduduk kota yang tinggal di kota – kota yang berpenduduk kurang dari setengah juta orang, yang merupakan jumlah terendah yang pernah terjadi, selain itu Negara Negara berkembang juga akan memiliki kota kota terbesar di dunia yang mencakup kota sangat besar atau megapolitan yang penduduknya lebih dari 10 juta orang. Dan pada saat yang sama tingkat urbanisasi di Negara berkembang hamper akan menyamai Negara Negara maju.

Berkenaan dengan ukuran aglomerasi perkotaan yang tidak pernah terjadi sebelumnya ini adalah : bagaimana semua kota akan bisa mengelolah konsentrasi penduduk yang semakin membesar secara ekonomi, lingkungan dan politik, sekalipun kota besar dapat memberikan keunggulan efisien biaya yang di sebabkan ekonomi aglomerasi serta skala ekonomi dan kedekatan ( proximity ) serta sebagai eksternalisasi ekonomi dan social ( misalnya : pekerja terampilan, transportasi murah, fasilatas social dan budaya ) dan kepadatan penduduk akan  melebhi manfaat yang selama ini menjadi keunggulan perkotaan. Mantan Presiden Bank Dunia, Robert McNamara , mengemukakan keraguan menegenai kemungkinan berhasilnya aglomerasi urban yang sedemikian basar:

“ ukurannya begitu besar sehingga perekonomian kota itu akan menyusut  karena biaya mengelolah kepadatan, cepatnya pertumbuhan penduduk yang menyebabkan penumpukan manusia akan jauh melebihi pertumbuhan infrastruktur manusia dan fisik yang di butuhkan untuk sekedar menjalani kehidupan ekonomi yang cukup efisien serta hubungan social dan politik yang tertib, apa lagi para penghuninya”

Meluasnya urbanisasi yang berlangsung cepat dan bias perkotaan ( bias perkotaan adalah suatu gagasan bahwa hamper semua pemerintah Negara berkembang nenerapkan kebijakan pembangunan yang lebih berpihak pada sector perkotaan, sehingga menimbulkan kesenjangan besar antara prekonomian perkotaan dan prekonomian pedesaan ) dalam strategi pembangunan telah menyuburkan pertunbuhan perkampunagan miskin daj kumuh yang besar.

1.2 Faktor Penyebab Urbanisasi

Faktor penyebab adanya urbanisasi adalah karena adanya faktor utama yang klasik yaitu kemiskinan di daerah pedesaan. Faktor utama ini melahirkan dua faktor penyebab adanya urbanisasi yaitu:

Faktor Penarik (Pull Faktors)

Alasan orang desa melakukan migrasi atau pindah ke kota didasarkan atas beberapa alasan, yaitu:

  • Kurangnya lapangan pekerjaan
  • Berkurangnya lahan pertanian
  • Terbatasnya sarana dan prasarana di desa,
  • Berbuat kesalahan di desa
  • Memiliki impian kuat menjadi untuk sukses
  • Melanjutkan pendidikan
  • Pengaruh bahwa perkotaan akan merubah ekonomi
  • Kebebasan dan wawasan yang luas
  • Adat atau agama yang tidak mendudukung
  • Kebutuhan sarana dan prasarana yang tidak ada

1.3 Faktor Pendorong (Push Faktors)

Di sisi lain kota mempunyai daya tarik, di pihak lain keadaan tingkat hidup di desa umumnya mempercepat proses urbanisasi tersebut, hal ini menjadi faktor pendorong timbulnya urbanisasi. Faktor pendorong yang dimaksud diantaranya adalah:

Perbandingan desa dan kota sangat terlihat di mana perkotaan memiliki daya tari tersediri, sehingga tingkat kehidupan di desa umumnya mempercepat proses urbanisasi, sehingga hal tersebu membuat terjadinya urbanisasi yang tidak terbendung. Faktor yang memdorong terjadinya urbanisasi yang tidak terbendung antara lain: 

  1. Kehidupan di desa yang tidak memungkinkan untuk merubah perekonomi
  2. Kehidupan desa yang tidak berubah. Terjadi karna adat istiadat dan agama yang cukup kental 
  3. Pendapatan yang minim
  4. besar hidup penduduknya hanya bergantung dari hasil pertanian
  5. Keamanan dan jaminan yang kurang
  6. Fasilitas pendidikan sekolah atau pun perguruan tinggi yang kurang berkualitas
Dapat di simpulkan dari paparan tersebut yang sangat mempengaruhi kecenderungan terjadinya urbanisasi yang terus menerus adalah faktor ekonomi yang menyebabkan migrasi, dan juga terjadi akibat faktor tingkat pendidikan dan ke ahlian. Serta faktor lainnya adalah tingkat dan cara produksi di pedesaaan terdapat orang yang terlalu banyak ( overruralisasi ).

1.4 Dampak Yang Ditimbulkan Urbanisasi

Dampak akibat meningkatnya proses urbanisasi banyak menimbulkan dampak – dampak terhadap lingkuhan perkotaan, dari segi tata kota, masyarakat, serta ke adaan sekitar. Terdapat dua akibat atau dampak dari urbanisasi terhadap lingkungan perkotaan antara lain:

1.4.1 Dampak positif

Pandangan yang positif dari urbanisasi, dengan cara melihat urbanisasi sebagai upayah pembangunan yang bersifat menyeluruh dan tidak terbatas oleh adminitrasi perkotaan. Di mana kehidupan di perkotaan di anggap suatu agen modernisasi dan perubahan berkelanjutan. Sehingga pandangan masyarakat memandang perkotaan sebagai induk suatu tempat pemusatan modal, keahlianm daya kreasi dan berbagai macam fasilitas yang sangat di butuhkan dalam pembangunan.

Tanggapan yang lain beredar di masyarakat adalah bahawa kita tidak bisa membayangakan dan mengalami pertumbuhan yang terjadi seperti keadaan kota Jakarta yang bisa di lihat sebagai pusat pusat industry yang menjamur.

1.4.2 Dampak urbanisasi terhadap kota

Banyaknya masyarakat yang berpandangan bahwa proses urbanisasi hanyalah suatu kejadian sementara ( fenomena temporer ) untuk  tidak menghambat pertumbuhan dan pembangunan yang berlangsung. Dan berpandangan bahwa wilayah perkotaan adalah suatu sector pemimpin (leading sector ) dalam perubahan perekonomian, social dan budaya suata wilayah atau kota. Di mana tujuan dari urbanisasi adalah memajukan pembangunan ekonomi

1.4.3 Dampak negatif

Khususnya di Indonesia masalah urbanisasi sudah di mulai dengan di runtuhkannya beberapa kebijakan orde baru.salah satunya kebijakan ekonomi makro ( 1967 – 1980 ), di mana kota sebagai pusat  ekonomi. Dan selanjutnya kebijakan subtitusi impor dan investasi asing pada sector pabrik ( manufacturing ), yang menjadi penyebab pembangunan terpusat pada kota Jakarta dan yang trakhir penyabab mempercepatnya sector pertanian yang terjadi pada tragedy 1980-an , yang menyebabkan para pemuda serjana tidak ingin kembali ke desan untuk menggeleti pertanian atau memperbaiki desa sendiri.

Berkelanjutannya arus usbanisasi yang tidak terbendung akan menyebabkan permasalahan baru di kawasan perkotaan  dan juga dengan urbanisasi yang berlebihan akan menciptakan kawasan -  kawasan kumuh di perkotaan, meningkatnya  pengangguran karena menumpuknya tenaga kerja yang tidak terlatih atau tidak memiliki kemampuaan. Salain itu apa bila terjadi secara terusmenerus makan dampak yang lebih rumit akan terjadi seperti polusi, kemacetan dan akan berakibat terjadinya aglomerasi ( agglomeration ) Dampak negatif lainnnya yang muncul adalah terjadinya “overurbanisasi” yaitu dimana prosentase penduduk kota yang sangat besar yang tidak sesuai dengan perkembangan ekonomi negara. Selain itu juga dapat terjadi “underruralisasi” yaitu jumlah penduduk di pedesaan terlalu kecil bagi tingkat dan cara produksi yang ada.Pada saat kota mendominasi fungsi sosial, ekonomi, pendidikan dan hirarki urban.

Dan hal tersebut menimbulkan terjadinya pengangguran dan underemployment. Kota yang di pandang sebagai inefisien dan artificial proses “pseudo-urbanisastion”.Sehingga urbanisasi merupakan variable dependen terhadap pertumbuhan ekonomi.

Dengan demikian semakin lama tidak bisa di pungkiri akan semakin banyak penduduk yang akan tinggal di perkotaan dan ini juga bisa di buktikan dengan laporan oleh Perserikatan Bangsa Bangsa ( PBB ) yang melaporkan bahwa hamper seluruh penduduk dunia tinggal di wilayah perkotaan ( UN , 1998 : 2 ). Laporan tersebut menyajikan hal yang menarik. Pertama setelah melewati millennium baru dan untuk pertama kalinya dalam sejarah manusia penduduk perkotaan akan melampaui jumlah penduduk yang tinggal di pedesaaan. Kedua tahun 2030 diperkirakan 3 dari 5 penduduk dunia akan tinggal di wilayah perkotaan, kota kecil, kota besar maupun kota megapolitan. sehingga beberapa pakar bersempadapat bahwa terakhir abad –20 akan menjadi saksi apakah penduduk perkotaan akan melebihi penduduk pedesaan untuk pertama kalinya dalam sejarah ( Clark, 1996 ).

Dampak negatif lainnya yang ditimbulkan oleh tingginya arus urbanisasi adalah sebagai berikut:

  1. Semakin berkurangnya lahan kosong di kawasan perkotaan. Di karenakan pertumbuhan dan pertambahan penduduk kota yang sangat cepat atau pesat, sehingga daya dukung kota kurang mampu mengatasinya. Sehingga lahan kosong sangat sulit untuk di temukan. Lahan untuk pemukiman tinggal, kelancaran untuk lalu lintas kendaraan, dan tempat parkir akan semakin minim di cari. Bahkan untuk Ruang Terbuka Hijau ( RTH ) sudah sangat sulit di temukan. Sehingga lahan kosong untuk ada di kawasan perkotaan  telah banyak di gunakan oleh masyrakat urban untuk tempat pemukiman, perindustrian yang legal maupun illegal, pedagang, serta kawasan usaha yang di dirikan oleh masyrakat pendatang. Dan banyaknya masyrakat pendatang yang tidak memiliki tempat tinggal sehingga mereka menggunakan kawasan kosong sebagai tempat tinggal sebagai pemukiman liar, sehingga hal tersebut menjadikan makin berkurangnya dan memperkumuh kawasan perkotaan.
  2. Akibat terjadinya bencana alam sehingga para masyrakat yang tidak memiliki dana, pekerjaan atapun asset akan menempati pemukiman kosong di pusat perkotaan atau di daerah pinggiran kota daerah aliran sungai ( DAS ) untuk membangun timpat tinggal yang bersifat bangunan liar sebagai tempat tinggal, maupun untuk berdagang sebagai mata pencarian. Di mana akibat dari hal tersebut akan menjadikan lingkungan tersebut yang seharusnya sebagai kawasan penyerapan air saat hujan akan menjadi penyabab terjadinya genangan air bahkan banjir yang sangat meruggikan. Di karenakan kawasan yang seharusnya berfungsi sebagai kawasan penyerapan air sudah di gunakan sebagai pemukiman liar yang akan berdampak kerugian besar terhadap masyarakat sekitar.
  3. Memperburuk polusi di perkotaan di mana masyarakat urbanisasi yang bertujuan mencari pekerjaan, meneruskan pendidikan maupun memperaiki ekonomi, umumnya akan berusaha untuk memiliki kendaraa di karenakan kawasan yang akan di gunakan terhitung jauh. Sehingga tingginya pertamabahan kendaraan roda 4 ( mobil ) maupun roda 2 ( motor ) yang dari tahun ke tahun akan bertambah dan memperpadat kawasan perkotaan, akan menimbulkan bermacam macam polusi dan pencemaran ( polusi udara, polusi suara ). Sehingga fungsi di kawasan perkotaan tidak memilki keseimbangan untuk menjaga kestabilan lingkungan
  4. Pencemaran terhadap social dan ekonomi. Di mana dengan perpindahan penduduk desa ke kawasan perkotaan yang memiliki tujuan untuk memperbaiki ke adaan seharusnya tidak memilki dampak besar di perkotaan bila masyrakat ( urban ) memilki keahlian yang di butuhkan akan tetapi para masyrakat ( urban ) kebanyakan tidak memiliki ke ahlian yang di butuhkan perkotaan dan hanya memiliki tekat yang besar tanpa ke ahlian maupun pendidikan yang memadai sehingga umummnya masyarakat tersebut terpaksa untuk menjadi buruh tidak tetap, pembantu rumah tangga ( PRT ), serta perkerjaan yang sederajat yang tidak membutuhkan keahlian khusus maupun pendidikan yang memadai. Sehingga tingkat pengangguran di perkotaan akan menjadi lebih tinggi dan kemiskinan akan bertambah semakin besar jumlahnya. Sehingga di perkotaan akan menjamur krimnalitas akibat para masyrakat ( urban ) untuk memenuhi kebutuhan untuk kelangsungan hidup
  5. Memperburuk keindahan tata kota. Di mana para masyrakat ( urban ) kebanyakan adalah masyarakat kurang mampu yang tidak mampuh dalam membangun atau membeli hunian untuk tinggal yang layak. Sehingga akan bertambahnya kawasan kawasan kumuh yang di bangun di daerah lahan milik pemerintah sehingga tercipta gelandangan yang akan merusak fasilitas fasilitas yang sudah baik, seperti banyaknya yang tinggal di bawah ( kolong ) jembatan yang merusak pemandangan sehingga kawasan tersebut akan terlihat kumuh dan tidak terawat. 
  6. Peyebab kemacetan yang parah. Samakin padatanya penduduk di perkotaan yang di akibatkan lajunya pertumbuhan dan lajunya perpindahan penduduk dari desa ke kota yang tidak memiliki tempat tinggal dan mendirikan pemukiman di lahan pemerintah atau kawasan yang tidak seharusnya di jadikan pemukiman, sehingga akan menambah kemacetan yang sudah cukup menjadi tambah parah kemacetan, serta banyaknya para masyarakat yang memiliki kendaraan sehingga volume kendaraan di lalulintas akan semakin tinggi dan bedampak kemacetan yang tinggi.

2.Kebijakan Urbanisasi Di Indonesia

Dalam program pembangunan perkotaan, terdapat berbagai perkembangan strategi pembangunan perkotaan dari era Orde Baru hingga era reformasi sekarang ini. Beberapa krangka program pembangunan daerah perkotaan berikut ini ( BPPN, 1998 )

  1. Pemisahan aktivitas pembangunan daerah perkotaan dari kawasan andalan dan aktivitas pembangunan derah.
  2. Sector – sector yang mencakup program pembangunan  daerah dan program pembangunan daerah perkotaan akan fleksibel
  3. Setiap program nasional akan ditetapkan sesuai dengan misi dari setiap organisasi yang berpartisipasi.
  4. UDP setiap provinsi dan program pendanaan pembangunan daerah akan memiliki executing agency.
  5. Setiap program nasional mempunyai biaya operasional masing – masing dan manager program dinominasikan.
Perkembangan ini diikuti dengan munculnya program National Urban Development ( NUD ) yang  membutuhkan kragka dalam menyusun struktur elemen spasial yang komprehensif, yaitu pertumbuhan ekonomi, ekuitas, stabilitas, dan guidelines. Strategi NUD dilakukan dengan hal – hal sebagai beru=ikut ( Kim et al.,1992 ).

  1. Mewujudkan tujuan dan mencapai pembangunan perkotaan yang seimbang membutuhkan GBHN.
  2. Membuat dan menjalankan program kebijakan yang relevan dalam mendukung program pembangunan perkotaan
  3. Mengakui stratego kebijakan nasional yang dibentuk dalam pembangunan perkotaan.
Di era SBY, konsep yang di bangun pada penyususnan Kebijakan dan Strategi Perkotaan Nasional ( KSPN ) adalah membangun barbasis perkotaan ( urban – led development ), konsep ini memandangn positif terhadap pembangunan nasional     ( Alisjahbana, 2010 ), serta memastikan hal – hal sebagai berikut.

  1. Optimalisasi potensi kota melalui peningkatana produktivitas dalam meningkatkan nilai tambah ekonomi 
  2. Peningkatana keterkaitan kegiatan ekonomi antar kota dan desa dengan melakukan intervensi atau  affirmative action  terhadap desa agar desa tetap memiliki potensi tawar yang memadai
  3. Mendorong peningkatan keterampilan agar penduduk mampu meningkatkan kinerja secara berkeadilan

3. Pertumbuhan Perkotaan

Pertumbuhan kota tenyata meliputi berbagai faktor yang lebih komplek dari pada sekedar penghematan aglomerasi. Teori yang di kaji ulang oleh Fujita dan Thisse ( 1996 ), menggambarkan berbagai ekuibilirium konfigurasi spasial aktivitas ekonomi sebagai hasil tarik – menarik antara kekuatan sentripetal dan sentrifugal. Kekuatan sentripetal ( centripetal forces ), yang di tunjukkan oleh penghematan aglomerasi, adalah semua kekuatan yang menarik aktivitas ekonomike daerah perkotaa. Sedangkan kekuatan sentrifugal (  centrifugal forces )  adalah kebalikan dari kekuatan sentripetal, yaitu kekuatan disperse. Yang di lihat dari kenaikan upah tenaga kerja yang trampil maupun kasar. Pertumbuhan kota juga cenderung meningkatkan harga tanah secara rill karena jumlahnya tidak bertambah. Kota kota utama juga menimbulkan eksternalitas negative, yang sering kali diasosiasikan dengan polusi lingkungan  ( Fujita dan Rivera – Batiz, 1988 ). Inilah yang di sebut sebagai kausalitas kumulatif yang negative menurut versi Myrdal ( 1957 ) dan Pred ( 1965 ).

Persaingan antar perusahaan dan industry lambat laun akan meningkatkan harga bahan baku dan faktor produksi, sehingga biaya perunit mulai merayap naik. Terjadinya peningkatan biaya jasa perbankan dan biaya overhead  akan mengakibatkan disentraliasai dan relokasi aktivitas ekonomi ke daerah pinggiran kota atau kota – kota satelit di seputar pusat kota.

Pendekatan yang lebih luas di pelopori oleh Paul Krugman, yang memproklamasikan paradigm Geografi Ekonomi Baru (  New Economic Geography ) ( Krugman, 1995; 1998 ) krugman menempatkan aglomerasi perkotaan sebagai pusat perhatian. Krugman telah membuka msiteri penghemanatan eksternal dan memasukkan dimensi spasial serta semnagat “ proses kausalitas kumulatif “ dalam mendeskripsikan perkembangan perkotaan dan daerah. Ia menyoroti ada empat hal yang secara empiris tidak berubah mengenai konsentrasi perkotaan ( krigman, 1996:  12 – 3 ).

  1. Pendapatan perkapital berhubungan negative dengan konsentrasi perkotaan
  2. Konsentrasi penduduk di perkotaan berkorelasi dengan konsentrasi kekuasaan politis. Infrastruktur
  3. transportasi memiliki dampak penting terhadap konsentrasi perkotaan.
  4. Semakin terbuka suatu perekonomian, sebagaimana diukur dengan pangsa ekpor terhadap PDB, cendrung memiliki kota  - kota utama yang lebih kecil disbanding perekonomian yang tidak memiliki paradigma sebesar itu.
Ada tiga faktor yang sangat mempengaruhi tingkat keberhasilan perwujudan kebijakan dan strategi perkotaan nasional ( Alisjahbana, 2010 ).

  • Kota merupakan “ entitas sosio-spasial “ artinya fisik dan ruang mencerminkan kondisi social, ekonomi, dan budaya masyarakat. Oleh karena itu, upayah pembangunan  kota tidak dapat lepas dari upayah pengembangan masyarakat.
  • Kota merupakan bagian dari lingkunagn sekitarnya, baik lingkungan yang bersifat alami, seperti hutan, sungai, daerah aliran sungai, teluk,laut, dan pegunungan, maupun lingkunagn buatan seperti kawasan pedesaan atau perkotaan. Oleh karena itu, tidak hanya mengakomodasi kebutuhan bagi masyarakat dan lingkunagn sekitarnya. Dengan demikian, pembangunan kota harus mempertimbangkan kondisi geografis dan historis setempat.
  • Kota – kota Indonesia bersifat “ terbuka “, artinya memeberikan kesempatan yang sama bagi setiap warga, seperti golongan kaya dan miskin, asli dan pendatang, perbedaan agama, suku, serta identitas probadi local.
Keterkaitan antarkota secara global dan nasional harus dipandang sebagai kondisi dan arena di mana perkembangan kota sedang berlangsung dan harus dihadapi ( firman, 2000 ), yairu penciptaan fasilitas dan iklim investasi yang pasti, keamanan,serta infrastruktur yang menunjang untuk terselenggaranya kegiatan ekonomi berskala international yang efisien.

Pembangunan perkotaan harus ditujukan untuk meminilakan kemungkinan dampak  negative proses keterkaitan antarkota yang meliputi berikut ini.

  1. Mengurangi dan mencegah terjadinya ketimpangan wilayah dan antarkota,khususnya kota – kota besar yang berpotensi terintergrasi ke dalam sistem oerekonomian global dengan kota – kota menengah dan kecil serta pusat – pusat wilayah pedesaan karena hal ini akan berdampak pada social – ekonomi dan politik.
  2. Mengurangi dampak kesenjangan antarkelompok  masyarakat perkotaan, khususnya kota kota besar di mana kegiatan ekonomi berskala ekonomi global berlangsung, artinya, manajemen dan pembangunan kota haruas mengacu pada peran masyarakat luas, partisipastif, dan terbuka.
  3. Pembangunan sutau kota hendaknya dipadukan dengan perkembangan di kawasan pinggiran (  finge areas ) karena kawasan pinggiran ini juga merupakan kawasan yang dampak globalisasi. Dengan kata lain, pengembangan wilayah metropolitan perlu menekanka kelestarian lingkunagn.
  4. Menjadikan keterkaitan desa – kota  ( rural-urban lingkages ) sebagai faktor pendorong perkembangan bagi wilayah pedesaaan dan perkotaan karena telah berinteraksi secara erat. Dari faktor – faktor yang telah diuraikan di atas, hal terpenting adalah antisipasinya bagi pembanguanan perkotaan di Indonesia di masa mendatang.
RPJP 2010 – 2014 yang di rangkum telah menjelaskan bahwa ada beberapa hal yang harus kita perhatikan pada bidang perkotaan.

  • Arah pembangunan perkotaan ke depan, di mana kota sebagai engine of growth  dan tempat tinggal yang berorientasi pada pemenuhan kebutuhan penduduknya ( people centra)
  • Focus terhadap lokasi pembangunan perkotaan yang dilakukan dengan tiga pendekatan berikut
    • Sistem perkotaan nasional : keterkaitan pusat kegiatan nasional (PKN )
    • Sistem pengendalian kota besar dan metropolitan kota besar dan kota metropolitan
    • Sistem pengembang wilayah ekonomi ( desa – kota ): kota menengah dan kota kecil
  • Pembangunan kota sebagai engine of growth di lakukan dengan meningkatkan  investasi dan pembangunan ekonomi di perkotaan serta menguatkan kapasitas pemerintah kota.
  • Pembangunan kota sebagai tempat tinggal yang berorientasi pada people centrared dilaksanakan dengan:
    1. Menyediakan lahan public sesuai dengan standar pelayanan perkotaan
    2. Menguatkan kelembagaan dan kerja sama antarkota
    3. Menurunkan tingkat kemiskinan
    4. Menurunkan tingkat kerawanan social dan kriminalitas di perkotaan
    5. Meningkatkan pemanfaatan dan pengembangan modal social dan budaya di perkotaan. 
    6. Meningkatkan penanganan polusi lingkungan dan mitigasi bencanan dalam pengelolaan perkotaan.
    7. Serta meningkatkan implementasi rencana tata ruang perkotaan dan pengendalian pemanfaatan ruang perkotaan.
Setidaknya ada dua kelompok besar arah kebijakan urbanisasi di Indonesia yang saat ini sedang dikembangkan ( Tjiptoherijanto, 2011), pertama, mengembangkan daerah – daerah  pedesaan agar memiliki ciri – ciri sebagai daerah perkotaa,yang di kenal dengan istilah “ urbanisasi perdesaan “, kedua, mengembangkan pusat – pusat pertumbuhan ekonomi baru atau dikenal dengan istilah “ daerah penyangga pusat pertumbuhan “.

kelompok pertama merupakan upayah  untuk mempercepat tingkat urbanisasi tanpa menunggu pertumbuhan ekonomi dengan melakukan beberapa trobosan yang bersifat “ nonekonomi “. Bahkan, perubahan tingkat urbanisasi tersebut diharapkan memacu tingkat pertumbuhan ekonomi. Untuk itu, pertumbuhan daerah perdesaan perlu di dorong agar memiliki ciri ciri perkotaan, tetapi memiliki nuansa pedesaan.

Beberapa cara yang sedang dikembangkan untuk mempercepat tingkat urbanisasi sersebut antara lain “ medernisasi “ daerah pedesaan sehingga memiliki sifat sifat daerah perkotaan. Dalam hubungan inilahlahir konsep “ urbanisasi pedesaan “. Urbanisasi pedesaaan mengacu pada kodisi di mana suatu daerah sacara fisik masih memiliki ciri – ciri perdesaan yang “ kental”, namun, karena “ ciri penduduk “ yang hidup di dalamnya sudah menampakkan sikap maju dan mandiri – seperti mata pencarian lebih besar di nonpertanian,sudah mengenal dan memanfaatkan lembaga keuangan, memiliki aspirasi yang tinggi terhadap dunia pendidikan, dan sebagainya – daerah tersebut dapat dikategorikan sebagai daerah perkotaan.

Dengan demikian, apa yang harus dikembangkan adalah membangun penduduk perdesaan agar memiliki ciri – ciri penduduk perkotaan dalam arti positif tanpa harus mengubah fisik perdesaan secara berlebihan.maka perkembangan tingkat urbanisasi persedaan di Indonesia dapat di percepat tanpa harus merusak suasana tradisional yang ada di daerah perdesaan dan tanpa menuggu pertumbuhan ekonomi yang sedemikian tinggi. Bahkan sebaliknya dengan munculnya “ para penduduk “ di daerah “ perdesaan “ yang “ bersusasna perkotaan” tersebut, mereka dapat menjadi motor pertumbuhan ekonomi dengan mempertahankan aspek keserasian, keseimbangan, dan keselarasan antara tuntutan pertumbuhan ekonomi, keseimbangan ekosistem, dan lingkungan alam.

Kelompok kedua merupakan upaya untuk mengembangkan kota – kota kecil dan sedang yang selama ini telah ada untuk mengimbangi pertumbuhan kota kota besar dan metropolitan. Kebijakan pengembangan perkotaan diklasifikasikan ke dalam tiga bagian yaitu ( Tjiptoherijanto, 2011 )

  1. Kebijakan makro yang ditujukan, terutama untuk menciptakan lingkungan atau iklim yang merangsang bagi pengembang kegiatan ekonomi perkotaan. Hal ini antara lain meliputi penyempurnaan peraturan dan prosedur investasi, penetapan susku  Bungan pinjam, dan pengaturan perpajakan bagi peningkatan pendapatan kota.
  2. penyebaran secara spesial pola pengembangan kota yang mendukung pola kebijaksanaan pembangunan nasional menuju pertumbuhan ekonomi yang seimbang, serasi dan berkelanjutan, yang secara operasional dituangkan dalam kebijaksanaan tata ruang kota/ perkotaan, dan
  3. berwawasan lingkungan
  4. peningkatan peran masyarakat dan swasta. Dengan makin terpadunya sistem-sistem perkotaan yang ada di Indonesia, akan terbentuk suatu hierarki kota besar, menengah, dan kecil yang baik sehingga tidak terjadi “dominasi” salah satu kota terhadap kota-kota lainnya.
Dengan semakin bertumbuhnya daerah perdesaan dan tersebarnya daerah – daerah pertumbuhan ekonomi serta dibarengi dengan semakin meratanya persebaran daerah perkotaan sasaran untuk mencapai tingkat urbanisasi sebesar 75% pada akhir tahun 2025 di harapkan dapat terwujud.

3.1. Peranan Kota

Secara umum kota terbentuk karena memberikan keunggulan atau keuntungan efisiensi biaya bagi para produsen dan konsumen melalui apa yang di sebut sebagai ekonomi aglomerasi ( agglomeration economy ), yang memiliki dua wujud yaitu ekonomi urbanisasi ( urbanization economy ) dan ekonomi lokalisasi ( localization economy ). Ekonomi urbanisasi adalah munculnya sejumlah akibat yang berkaitan dengan pertumbuhan umum wilayah geografi yang terkonsentrasi. Sedangkan ekonomi lokalisasi adalah sejumlah akibat yang di peroleh sector – sector terntentu perekonomian, seperti pembiayaan dan kendaraan bermotor, ketika tumbuh dan berkembang di dalam kawasan itu.( walter isard ). Manfaat ini merupakan jenis keterkaitan ke hilir. Selain itu , perusahan perusahaan dalam industry yang sama atau berkaitan dapat sama – sama  di untungkan  karena berlokasi dalam kota yang sama, sehingga memperkerjakan dengan jumlah besar tenaga kerja dalam sectornya atau dari infrastruktur khusus. Ini adalah jenis keterkaitan ke hulu. Para pekerja berketerampilan khusus yang sesuai dengan industry pengguna keterampilan sehingga masyrakat lebih mudah menemukan pekerjaan baru atau memanfaatkan peluang kerja yang lebih baik.

3.2. Distrik Industri

Difinisi ekonomi tentang kota adalah “ suatu kawasan yang kepadatan peduduknya relative tinggi, dan memiliki sejumlah aktivitas yang sangat berkaitan”.pengetahuan ini juga merupakan manfaat aglomerasi bagian dari manfaat yang di sebutkan Alfred Marshal sebagai “ Distrik Industri “ dan sangat berperan sebagai “ kelompok usaha “ ( cluster ) dalam teori keunggulan bersaing / kompetitif Michael Porter.semua perusahaan yang berlokasi di distrik – distrik seperti itu juga memperoleh manfaat dan peluang untuk bisa mensubkontrak pekerjaan dengan mudah apabila ada pesanan pekerjaan berskala besar. Akan tetapi berbagai manfaat lainya dapat di peroleh melalui tindakan kolektif seperti pengembangan fasilitas pelatihan atau melobi pemerintah untuk mendapatkan infrastruktur yang di butuhkansebagai sebuah industry alih – alih sebagai sebuah perusahaan tunggal “ efisiensi kolektif aktif “.

Sebagaimana yang ditmukan Hermine Weijland dalam penelitian di jawa, Indonesia: “ hanya diperlukan beberapa tahun untuk memperluas pasar yang menguntungkan semi menghasilkan perolehan yang besar dari ekternalitas dan tindakan bersama”. Hermin menyebutkan beberapa contoh kelompok usaha local yang berhasil meningkatakan diri dan sekarang mampu menghasilkan produk seperti genteng, furniture rotan, legam cetak dan tekstil yang kompetitif.

3.3. Skala Perkotaan Yang Efisien

Ekonomi lokalisasi tidak mengatakan efisiensi akan tercapai ketika industry di sebuah Negara di pusatkan ke sebuah kota. Dan efisnsi ini akan tercapai apabila memiliki keterkaitan yang kuat ke hilir dan hulu. Salah satu pengecualian yang menonjol adalah kemungkinan terjadinya imbas dari kemajuan teknologi di sebuah industry yang penggunaannya diadaptasikan dalam industry lainya. Akan tetapi, terdapat juga beberapa biaya penumpukan ( congestion ) yang penting.

Dengan demikian, kekuatan memusat atau “ sentripetal “ dari ekonomi aglomerasi perkotaan ditentang oleh kekuatan menjauh dari pusat atau “ sentrifugal” dari deskonomi yang di tampilkan biaya yang semakin tinggi ketika pemusatan semakin besar, karena beberapa faktor produksi, yang paling jelasnya adalah lahan, bersifat tidak bergeral\k. kita dapat “ menciptakan “ lahan yang lebih banyak dengan membangun gedung pencakar langit. Oleh sebab itu biasanya suatu Negara memiliki sejumlah kota yang ukurannya bergantung pada skala industry yang di topangnya dan cakupan ekonomi aglomerasi yang di dapatkan bagi industry atau kelompok industry itu.

Dua teori yang terkenal mengenai ukuran kota adalah model hierarki kota teori tempat pusat/ central place theory ) dan model bidang datar terdiferensiasi (differentiated plane model). Dalam model hierarki urban yang diajukan oleh August Losch dan Walter Christaller, pabrik di berbagai industri memiliki karakteristik radius pasar yang timbul dari keterkaitan antara tiga faktor: skala ekonomi produksi, biaya transportasi, dan bagaimana permintaan lahan yang tersebar terhadap tempat yang tersedia. Dalam model bidang datar terdiferensiasi yang diajukan pertama kali oleh Alfred Weber, Walter Isard, dan Leon Moses, memperkirakan konsentrasi perkotaan pada titik-titik persilangan rute transportasi yang langka, yang disebut nodus internal (internal node).

4. Masalah yang Ditimbulkan Kota Raksasa

Rute transpotasi utama di negara-negara berkembang umumnya adalah warisan zaman kolonial. Para ilmuan aliran ketergantungan telah membangdingkan jaringan transportasi kolonial dengan sistem drainase, yang mengedepankan kemudahan pengurasan sumber daya alam negeri jajahan. Pada pembahasan mengenai masalah yang ditimbulkan kota raksasa, dibahas pula mengenai bias kota utama dan penyebab timbulnya kota raksasa.

4.1 Penyebab Timbulnya Kota Raksasa

Ada beberapa faktor yang menjadi latar belakang munculnya kota raksasa seperti:

  1. Akibat dari kombinasi sistem transportasi hub-and-spoke dan lokasi modal politik di kota terbesar
  2. Budaya politik perburuan rente dan kegagalan pasar modal yang membuat upaya pembangunan pusat-pusat kota baru tidak dapat dilakukan oleh pasar
  3. Konsekuensi negatif politik ekonomi, menekankan akibat dari industrialisasi substitusi impor dengan proteksi yang sangat ketat
  4. Konsekunsi dari upaya pemimpin negara diktator untuk tetap berkuasa.
  5. Faktor ekonomi politik, antara lokasi perusahaan dengan akses yang mudah dengan pejabat pemerintah.

5. Teori Ekonomi tentang Migrasi Desa-Kota

Laju migrasi desa-kota bisa saja terus berlangsung meskipun telah melebihi laju pertumbuhan kesempatan kerja. Kenyataan ini memliki landasan yang rasional, karenaadanya perbedaan ekspetasi pendapatan yang sangat lebar, yakni para migran pergi kekota untuk meraih tingkat upah lebih tinggi yang nyata. Dengan demikian, lonjakanpenggaruan di perkotaan merupakan akibat yang tidak terhindarkan dari adanyakesempatan ekonomi berupa kesenjangan tingkat upah antara di perdesaan danperkotaan dan ketimpangan itu banyak ditemukan di dunia ketiga. Terdapat Lima Implikasi kebijakan menurut Todaro.

  1. Ketimpangankesempatan kerja antara kota dan desa harus dikurangi. Karena para imigran diasumsikan tanggap terhadap adanya selisih-selisih pendapatan, maka ketimpangan kesempatan ekonomi antara segenap sektor perkotaan dan pedesaan harus dikurangi Pemecahan masalah penggaruan tidak cukup hanya dengan menciptakanlapangan pekerjaan di kota.
  2. Pemecahan masalah pengangguran di perkotaan yangdilakukan menurut saran-saran ilmu ekonomi Keynesian atau tradisional (yaitu, melaluipenciptaan lebih banyak lapangan kerja disektor modern perkotaan tanpa harus meningkatkan penghasilan dan kesempatan kerja di pedesaan dalam waktubersamaan
  3. Pengembangan pendidikan yang berlebihan dapat mengakibatkan migrasi dan pengangguran. Model Todaro juga memiliki implikasi kebijakan penting untuk mencegah invetasi di bidang pendidikan yang berlebihan, terutama pendidikan tinggi.
  4. Pemberian subsidi upah dan penentuan harga faktor produksitradisional (tenaga kerja) justru menurunkan produktivitas.
  5. Program pembangunan desa secara terpadu harus dipacu. Setiap kebijakan yang hanyaditujukan untuk memenuhi sisi permintaan kesempatan kerja di kota, seperti subsidi upah, rekrutmen pegawai lembaga-lembaga pemerintah, penghapusan distorsi harga-harga faktor produksi dan penyediaan insentif perpajakan bagi para majikan, dalam jangka panjang ternyata tidak begitu efektif untuk meniadakan atau menanggulangimasalah pengangguran.

6. Bias Kota Utama (first-city bias)

Yaitu, bentuk bias perkotaan yang sering menyebabkan gangguan cukup besar. Kota terbesar atau “tempat utama” suatu negara akan menerima bagian investasi publik dan insentif bagi investasi swasta dalam proporsi lebih besar dibandingkan dengan yang diberikan bagi kota terbesar kedua dan kota-kota lebih kecil lainnya di negara itu. Akibatnya, kota utama memiliki jumlah penduduk dan aktivitas ekonomi yang jauh lebih besar dan tidak efisien dibandingkan dengan kota-kota lainnya.

7.Urban Bias Di Indonesia

Perkembangn kota ditunjukkan dengan semakin tingginya persentasi penduduk yang tinggal di daerah perkotaan. Di Indonesia sejak decade 1980 sampai dengan 2000, di semua provinsi terjadi penigkatan persentase penduduk yang tinggal di daerah perkotaan. Hal ini menunjukkan terjadinya urban bias, yang merujuk kepada kecendrungan sekelompok orang untuk berada di perkotaan yang terdiri dari tenaga kerja, pelajar, pelayan masyarakat dan pabrik yang berusaha menekan pemerintah untuk melindungi kepentingannya.

8.Megapolitan

Konsep Megapolitan

Sejak abad ke – 20  telah terjadi perdebatan seputar pengertian dan konsep penataan struktur perkotaan dalam skala besar, terutama antara paham regional dan metropolitas. Penganut metropolitanis berpandangan kota – kota di abad ke -  20 mampu di kelolah sedangkan paham regionalis berpandang bahwa daripada menglolah kota metropolis yang cendrung berpusat satu titik ( monosentris ), akan lebih baik jika diarahkan pada jalinan antarkota metropolitan dan metropolitan dalam satu wilayah luas ( kawasan urban ).

Hingga kini belum ada prangkat pengukuran yang di susun secara sistematis dan berlaku secara universa. PBB menyatakan kota megapolita apabilah mencapai penduduk melampaui 8 juta jiwa. Sedangkan Asia Development Bank   ( ADB ) menyatakan 10 juta jiwa sebagai kota dapat di katakana sebagai kota megacity. Dengan demikian konsep megapolitan bersifat multidisplin, mencakup berbagai aspek, yakni ekonomi, politik, fisik lingkungan hidup,transportasi, social budaya dan aspek – aspek turunanya.

9.Apa Yang Di Maksud Aglomerasi ?

Montgomery mendefinisikan aglomerasi sebagai konsentrasi spasial dari aktivitas ekonomi di kawasan perkotaan karena “ penghematan akibat lokasi yang berdekatan (economies of proximity) yang diasosiasikan dengan kluster spasial dari perusahaan, para pekerjadan konsumen”( monthgomery, 1988 ).

Ini senada dengan Markusen ( 1996 )yang  menyatakan bahwa aglomerasi merupakan suatu lokasi yang “tidak mudah berubah” akibat adanya penghematan eksternal yang terbuka bagi semua perusahaan yang letaknya berdekatan dengan perusahaan lain dan penyedia jasa- jasa, dan bukan akibat kalkulasi perusahaan atau para pekerja secara individual. Ia menulis bahwa  aglomerasi menunjukkan:

“the stickiness of a place resides not in the individual locational calculus of firms or workers, but in the external economies available to each firm from its spatial conjunction with other  firms and suppliers of services” (Markusen, 1996)

Resume Urbanisasi dan Pertumbuhan Kota

Krugman dan para ahli ekonomi perkotaan “ arus utama “ telah begitu trobsesi dengan model kota yang di sebut kota monosentris ( monicentris – central place model of city). Model ini merupakan model klasik mengenai ekonomi persainagn sempurna dalam konteks geografi. Yang menjelaskan bahwa perusahaa berorientasi pasar { market – oriented ) menentukan lokasi berdasarkan pertimbangan akses terhadap konsumen. Teori tempat sentral menunjukan bagaimana pola lokasi industry yang berbeda menyatu dalam membentuk sistem regional perkotaan ( O’ Sullivan, 2003: 103 – 112 ).

9.1. Paradigma Aglomerasi Industri

Tedapat beberapa teori yang berusaha mengupas masalah aglomerasi, namun pada dsarnya konsep aglomerasi, muncul berawal dari ide Marshal tentang penghematan aglomerasi ( agglomeration economies ) atau dalam istilah Marsgal di sebut industri yang terlokalisasi ( Localited industries ), menurut Marshal, agglomeration ekonomies atau localized industries muncul ketika sebuah industry memilih lokasi untuk kegiatan produksinya yang memungkinkan dapat berlangsung dalam jangka waktu panjang sehingga masyarakat akan memperoleh banyak keuntungan jika mengikuti tindakan mendirikan usaha di sekitar lokasi tersebut ( McDonals, 1997:37 ). Selanjutnya dengan mengacu pada beberapa pendapat yang telah di mukakan  dapat di simpulkan bahwa aglomerasi merupakan konsentrasi dari aktivitas ekonomi dan penduduk secara spasial yang muncul karena penghematan akibat lokasi yang berdekatan.

Teori Neo- Klasik ( New Classical Theory )

Salah satu sumbangan terbesar yang paling penting dari teori neo-klasik adalah pengenalan terhadap keuntungan – keuntungan aglomerasi ( Peer. 1992: 34). Pelopor New Classical Theory ( NCT ) mengajukan argumentasi bahwa aglomerasi muncul dari prilaku ekonomi dalam mencari penghematan aglomerasi, baik penghematan lokalisasi maupun urbanisasi. Teori – teori ini bersandar pada beberapa asumsi di mana basis geografi bahan mentah, ukuran lokasi konsumsi, serta tenaga kerja yang tidak mudah pindah dan jumlahnya yang tidak terbatas di anggap konstan. Model ini juga menjelaskan bahwa yang muncul akibat kebutuhan untuk pulang – pergi kerja ( commute ) yang terkenal dengan sebutan central business district.

Teori Geografi Ekonomi Baru ( New Ekonomi Geography )

Hasil dari kemunculan new ecok=nomic geography ( NEG ). Argument dasar NEG menekankan pada pentingnya hasil yang meningkat ( increasing returns ), skala ekonomi, dan persaingan yang tidak sempurna. Plopor NEG percaya bahwa ketiga hal ini jauh lebih penting dari pada hasil skala yang konstan ( constant returns to scale ), persaingan sempurnah, serta keunggulan komparatif dalam menjelaskan perdagangan dam ketimpangan distribusi kegiatan ekonomi.

Walaupun menawarkan wawasan yang menarik mengenai kesenjangan geografis distribusi kegiatan ekonomi, NEG memiliki beberapa kelemahan yang berarti di mana ahli ekonomi menyimpulkan bahwa NEG bukanlah pendekatan yang sama sekali baru dalam ilmu ekonomi dan pula geografi, melainkan merupakan penemuan kembali teori lokasi tradisional dan ilmu regional ( Martin , 1999). Di mana pengujian langsung model aglomerasi spasial dengan menggunakan kerangka kerja NEG masih berada dalam tahap awal ( Ottaviano dan puga, 1998 ).

Teori Perdagangan ( New Trade Theory )

New Trade Theory  ( NTT ) menawarkan perspektif yang berbeda dengan yang di tawarkan oleh NEG dan NCT. NTT percaya bahwa sifat dasar dan karakter transaksi internasional telah sangat berubah dewasa ini di mana aliran barang, jasa da asset yang menembus batas wilayah antarnegara tidak begitu di pahami oleh teori – teori perdagangan internasional. Di mana dulunya teori perdagangan terfokus pada asumsi persaingan sempurna dan pendapatan konstan, menghabiskan waktu , terlalu banyak data dan teori dari pada berbagai isu yang memengaruhi ilmu ekonomi, serta gagal dalam menelusuri sebab – sebab proteksionisme ( Dodwell. 1994 ).

DAFTAR REFERENSI

Kuncoro, Mudrajad.2010.Ekonomika Pembangunan: Masalah, Kebijakan, dan Politik. Jakarata: Erlangga

Kuncoro, Mudrajad.2012.Perencanaan Darah: Bagaiamana Membangun Ekonomi Lokal, Kota, dan Kawasan. Jakarta: Salemba Empat

Todaro,P.Michael,. dan Smith,C.Stephen. 2013. Pembangunan Ekonomi. Edisi kesebelas. Jakarata: Erlangga.

Gilbert, Alan,. dan Josef, Gugler. 1996. Urbanisasi dan Kemiskinan di Dunia Ketiga.Ed. Anshori & Juanda. PT. Tiara Wacana: Jakarta.

Marbun, BN. 1990. Kota Indonesia Masa Depan Masalah dan Prospek. Edisi edua. Erlangga: Jakarta.

Popular posts from this blog

Dampak Pergaulan Terhadap Prestasi Siswa

Siklus Ekonomi

Teori Konsumsi dan Investasi